HTC_-_ilustrasi_artikel-oktober-Belajar_Sejarah_Pers_Indonesia_di_Monumen_Pers_Nasional_Surakarta

Belajar Sejarah Pers Indonesia di Monumen Pers Nasional Surakarta

Sedikit banyak kota Solo punya pengaruh besar terhadap perjuangan bangsa Indonesia dalam menggapai kemerdekaan. Salah satu unsur dari perjuangan tersebut adalah pers dan jurnalistik. Sehubungan dengan hal ini sahabat Hartono Trade Center, kota ini memiliki museum khusus tentang dunia pers dan jurnalistik bernama Monumen Pers Nasional.

Wisata pendidikan dan sejarah ini ada di Jl. Gajahmada No 59, Kelurahan Timuran, Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Karena lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota, selain kendaraan pribadi, bisa pula memakai transportasi umum untuk mengaksesnya. Terutama bus Batik Solo Trans (BST) dan angkutan kota jurusan Palur, Kartosuro dan Mojosongo.

Sejarah pendirian

Mangkunegara VII adalah seorang raja dari istana Mangkunegaran. Pada tahun 1918, beliau mendirikan sebuah bangunan bernama Societeit Sasana Soeka. Kemudian pada 1933, seorang insinyur bernama Sarsito Mangunkusumo mengadakan pertemuan di gedung ini bersama insinyur lainnya dan membentuk Soloche Radio Vereeniging.

Sahabat Hartono Trade Center perlu tahu, bahwa Soloche Radio Vereeniging adalah radio publik yang pertamakali dikelola oleh warga pribumi. Setelah itu pada awal kemerdekaan tepatnya 9 Februari 1946, terbentuklah organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di gedung ini juga.

Berdasarkan sejarah tersebut, kemudian pemerintah membuat keputusan menjadikan Societeit Sasana Soeka sebagai Museum Pers Nasional. Peresmiannya dilakukan pada 9 Februari 1978 oleh mendiang Presiden Soeharto, bertepatan dengan hari kelahiran PWI sekaligus Hari Pers Nasional.

Koleksi

Begitu melangkahkan kaki ke bagian depan museum, sahabat Hartono Trade Center akan menyaksikan bebeapa diorama sebanyak enam. Masing-masing menggambarkan sejarah perjalanan dunia jurnalistik di seluruh dunia dan Indonesia. Mulai dari cerita penyebaran berita di zaman kuno, masa penjajahan, kemerdekaan dan era reformasi.

Patung para tokok pers Indonesia juga dipamerkan di ruang utama ini dan di sebelah jejeran patung tersebut terdapat alat pemancar radio buatan tahun 1936. Di masa lalu, pemancar ini dinamakan radio kambing. Penyebabnya, karena sering disembunyikan oleh para pejuang Indonesia di kandang kambing agar tidak dirampas oleh tentara Belanda.

Koleksi berikutnya yang tidak kalah menarik dan bisa Hartono Trade Center saksikan adalah berbagai koran dan majalah yang terbit pada masa penjajahan. Berbagai buku dan dokumen penting yang punya hubungan erat dengan perjalanan sejaran pers tanah air juga tersedia secara lengkap.

Termasuk benda-benda lain yang ada kaitannya dengan teknologi komunikasi dan alat repotase seperti pemancar, mesin ketik, telepon dan masih banyak lagi. Namun karena sebagian besar dari dokumen, majalah dan koran lawas tersebut sudah lapuk, maka wisatawan hanya boleh mengamatinya dalam bentuk digital saja.

Meski demikian sahabat Hartono Trade Center tidak boleh berkecil hati. Semua benda koleksi tersebut tetap dapat menjadi sarana untuk menambah pengetahuan. Khususnya sejarah perjuangan bangsa Indonesia melalui gerakan pers yang berbasil menjadikan negeri ini sebagai bangsa merdeka.