Selama ini, steak lebih dikenal sebagai hidangan Eropa. Tetapi saat berwisata ke Kota Solo, sahabat Hartono Trade Center pasti akan menjumpai masakan lain seperti steak dengan citarasa yang sedikit berbeda yaitu selat. Sajian ini sangat terkenal, khususnya di kalangan pecinta wisata kuliner.
Sejarah Selat Solo
Sebenarnya, Selat Solo bukan sajian asli milik masyarakat Surakarta. Orang Belanda merupakan pihak yang pertamakali mengenalkan santapan ini kepada para bangsawan di Keraton Kasunanan. Meski berperan sebagai bangsa penjajah, pada zaman kolonial Belanda juga sempat mengenalkan masakan khas mereka ke masyarakat nusantara.
Pada masa tersebut, resep makanan yang dibawa oleh orang Belanda tidak serta merta diterima begitu saja oleh raja dan kalangan ningrat Keraton Surakarta. Selera beserta latar belakang budaya yang sangat berbeda menjadi alasannya.
Sebagaimana sahabat Hartono Trade Center ketahui, bagian besar masakan khas Jawa termasuk Solo biasanya mempunyai citarasa yang manis karena banyak menggunakan gula. Sementara itu hampir semua masakan Eropa atau Belanda punya aroma lemak.
Kreasi koki keraton
Meski demikian para ahli masakan atau koki yang bekerja di Keraton Kasunanan Solo tidak mau menyerah begitu saja. Mereka terus berusaha serta mencoba menyelaraskan perbedaan soal selera tersebut melalui berbagai macam cara.
Misalnya untuk mayones, diganti dengan kecap yang biasanya mempunyai cita rasa manis dan gurih. Sahabat Hartono Trade Center bisa membuktikan perbedaan ini saat melihat dan mencicipi kelezatan hidangan nikmat ini secara langsung.
Kemudian untuk dagingnya yang biasanya berukuran besar, juga ikut diganti menjadi ukuran lebih kecil. Daging sapi ini dimasak hingga matang, tidak setengah matang seperti masakan Belanda.
Selain itu ada pula yang merubahnya jadi galantin, berupa cacahan daging sapi yang dicampur dengan tepung roti dan telur dengan bentuk seperti sosis. Lalu setelah itu dipotong-potong tebal. Jadi saat makan Selat Solo sahabat Hartono Trade Center akan punya dua pilihan, selat daging atau selat galantin.
Sedangkan sayurnya tidak mengalami banyak perubahan karena citarasanya juga tetap sama. Misalnya wortel, kentang dan buncis, dimasak dengan cara direbus. Lalu untuk sawi dan mentimun, tetap dihindangkan tanpa melalui proses pengolahan.
Demikian pula dengan bumbu lainnya, tetap dipakai seperti lada hitam kasar sebagai taburan untuk memunculkan citarasa pedas. Sedangkan sausnya, terbuat dari kuning telur ayam dan dikasih bumbu pala.
Melalui penyelarasan ini, raja dan bangsawan Keraton Solo bisa menikmati hidangan Eropa tersebut karena citarasanya sudah menjadi citarasa khas Jawa. Demikian pula penamaannya, juga ikut berubah. Dari ‘biefstuk’ atau ‘steak’ menjadi ‘selat’ dan lebih dikenal dengan sebutan Selat Solo.
Saat berlibur ke Solo, sahabat Hartono Trade Center dapat menemukan masakan khas ini dengan mudah termasuk di kawasan Solo Baru. Harganya berada pada kisaran 10 hingga 20 ribu rupiah dan terasa lebih nikmat dan segar jika disantap pada siang hari.