Hampir setiap daerah memiliki makanan khas berupa sate. Tapi jika sahabat Hartono Trade Center berwisata kuliner di Solo, pasti akan menjumpai sajian dengan sebutan yang sangat unik yaitu sate kere.
Ada penjaja yang menjual makanan ini dengan cara berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. Meski demikian tidak sedikit kedai kaki lima atau warung makan besar yang buka secara khusus untuk menawarkan santapan tersebut bagi pecinta kuliner.
Makanan rakyat kelas bawah
Pada zaman kerajaan dan kolonial dulu, sate merupakan makanan mewah dan hanya masyarakat kelas atas atau bangsawan saja yang dapat menikmati dan menyantapnya. Apalagi pada masa penjajahan, pemerintah kolonial sempat mengeluarkan kebijakan khusus yang membatasi jual beli daging hewan ternak.
Jadi jangan heran jika di era tersebut hanya orang berduit saja yang mampu membeli daging. Meski demikian sahabat Hartono Trade Center, masyarakat yang berasal dari kalangan bawah tidak pernah kehilangan akal.
Mereka tetap bisa membuat hidangan sate dari bahan lain yang harganya lebih murah, yaitu tempe gembus. Sedangkan sambalnya tetap memakai resep yang sama, sambal kacang. Sehingga cita rasanya tidak jauh beda dengan sate dari daging sapi, ayam atau kambing.
Lalu seiring berjalannya waktu, ada yang membuat sate ini dari bahan lain misalnya jeroan sapi seperti paru, usus, kikil dan sebagainya. Meski demikian masakan ini tetap dianggap sebagai makanan kelas bawah. Ketika itu penjajah Belanda memang punya pandangan bahwa jeroan sapi merupakan hidangan sampah.
Berdasarkan kondisi inilah sahabat Hartono Trade Center, banyak yang menyebut sate dari tempe gembus dan jeroan sapi dengan nama sate kere. Karena hanya masyarakat miskinlah yang sering menyantapnya. Orang kaya pantang menikmati hidangan ini.
Naik kelas
Dalam perkembangan selanjutnya sate kere terus dikenal oleh masyarakat secara lebih lebih luas. Bahkan mulai puluhan tahun lalu, hidangan ini mulai digemari oleh seluruh lapisan pecinta kuliner baik dari kalangan bawah hingga atas. Artinya, sate kere sudah menjadi milik semua golongan meski namanya tidak mengalami perubahan.
Padahal menurut bahasa Jawa, kata ‘kere’ itu memiliki arti orang yang sangat miskin atau pengemis. Akan tetapi justru disinilah letak keunikan dari menu tradisional Solo tersebut. Bahkan penamaan ini sering menimbulkan rasa penasaran, khususnya para pecinta kuliner yang belum pernah mencicipi kelezatannya.
Sangat mudah bagi sahabat Hartono Trade Center untuk menemukan sajian sate kere saat sedang berlibur ke kota Solo. Masakan ini bisa ditemukan berbagai tempat seperti pasar tradisional, penjaja keliling, rumah makan hingga food court.
Harganya berada di kisaran Rp. 5.000 hingga Rp. 25.000 per porsi, tergantung variasi bahan yang dipilih. Selain itu sahabat Hartono Trade Center dapat menjadikan sajian ini sebagai lauk. Cita rasanya akan terasa lebih nikmat apabila nasinya diganti dengan lontong atau ketupat.